PEDAGANG KAKI LIMA SURAKARTA
(KARAKTERISTIK DAN PENANGANANNYA)
A. Pendahuluan
Pertumbuhan atau perkembangan perkotaan amat besar peranannya dalam penyebaran dan pergerakan penduduk. Hal ini terjadi karena pergerakan penduduk. Hal ini terjadi karena di bagian wilayah tersebut terdapat berbagai kegiatan ekonomi primer, sekunder, maupun tersier, serta fungsi pelayanan yang mampu meningkatkan daya tarik bagi penduduk. Pada sisi lain pengelompokan kegiatan, fasilitas, dan penduduk serta berpusatnya berbagai keputusan yang menyangkut publik merupakan factor yang menarik bagi kegaitan ekonomi. Yang terjadi kemudian adalah adanya interaksi yang dinamis dan resiprokal antar penduduk, fungsi pelayanan dan kegiatan ekonomi.
Seiring dengan perubahan struktur ekonomi yang dipercepat oleh pembangunan, proporsi penduduk perkotaan di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 1990 sekitar 55,5 juta orang (30,00 %) tinggal di perkotaan dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 75, 3 juta (37,00 %).
Beragam jenis pekerjaan yang digeluti sebenarnya menghasilkan suatu tujuan utama dalam hidup, yaitu pemenuhan kebutuhan. Berapapun pemasukan yang diperoleh, hal itu tidak menjadi masalah ketika kebutuhan terutama kebutuhan primer atau dasar terpenuhi. Namun, tidak setiap orang memiliki pendapatan yang baik untuk memenuhi kebutuhannya apalagi jika orang tersebut juga mempunyai tanggungan keluarga, seperti istri dan anak-anak. Jika seperti itu, tentu saja akan semakin sulit untuk bertahan hidup di saat pemenuhan kebutuhan tidak bisa ditunda lagi. Refleksi keadaan tersebut salah satunya ada pada diri pedagang kaki lima.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III tahun 2005, pedagang kaki lima memiliki arti pedagang yang berjualan di serambi muka (emper) toko atau di lantai tepi jalan. Realitanya, pengertian itu merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Orang yang berjualan di atas trotoar, itulah pedagang kaki lima (PKL). Bangunan semi permanen maupun tidak permanen (mobile/bisa didorong) berbentuk balok yang seringkali terlihat di depan toko atau di pinggir jalan dengan sebuah televisi di dalamnya sebagai penghibur dan pelepas rasa penat sang penjual, itu juga merupakan PKL.
B. Keadaan Umum Kota Surakarta
Surakarta, juga disebut Solo atau Sala, adalah kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah, Indonesia yang berpenduduk 503.421 jiwa (2010) dan kepadatan penduduk 13.636/km2. Kota dengan luas 44 km2 ini berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo.
Sebagaimana kota-kota besar di Indonesia, pertumbuhan penduduk kota Surakarta mengalami peningkatan yang tajam, karena kota Surakarta selain berfungsi melayani masyarakat kota secara administratif juga berperan melayani masyarakat regional yaitu daerah-daerah sekitar kota Surakarta tanpa melihat batas administrasi pemerintahan, seperti Kabupaten Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar,Wonogiri, Sragen dan Klaten (Subosuko Wonosraten). Pertumbuhan penduduk kota Surakarta yang semakin pesat tersebut berimplikasi terhadap jumlah angkatan kerja yang jika tidak segera ditangani akan meningkatkan jumlah pengangguran di kota.
Meningkatnya jumlah tenaga kerja harus diimbangi dengan peluang lapangan kerja. Kondisi saat ini peluang lapangan pekerjaan sektor formal memerlukan persyaratan-persyaratan yang tidak mudah dipenuhi oleh pencari kerja, dengan tingkat pendidikan dan ketrampian mereka yang serba terbatas. Perkembangan ekonomi kota Surakarta sebagaimana yang terjadi pula di kota-kota Indonesia tidak hanya terjadi pada sektor formal saja tetapi juga terjadi
pada sektor informal. Kota Surakarta mempunyai sifat dualisme modern formal dengan informal tradisional yang mengandung berbagai macam fungsi yaitu sebagai kota perdagangan, industri, pendidikan,budaya, pemerintahan dan fasilitas sosial dimana setiap fungsi memiliki skala pelayanan yang berbeda-beda.
Perkembangan Kota Surakarta juga diwarnai oleh terjadinya krisis ekonomi Nasional yang dimulai pada tahun 1997 yang meluas menjadi krisis disegala bidang (multidimensional),seperti fundamental perekonomian yang lemah,turunnya nilai mata uang rupiah,tingginya tingkat pengangguran, meningkatnya jumlah kemiskinan, meluasnya berbagai masalah sosial masyarakat, dan berbagai permasalahan yang menyangkut kehidupan semakin terlihat sangat memprihatinkan. Keadaan ini menimbulkan beberapa permasalahan di kota Surakarta sehingga menimbulkan berbagai dampak yang perlu ditangani dengan seksama.Salah satu aspek yang ditimbulkan oleh kondisi perekonomian nasional adalah meningkatnya jumlah Pedagang Kaki Lima di kota Surakarta.
C. Karakteristik PKL Kota Surakarta
Salah satu faktor dari meningkatnya jumlah Pedagang Kaki Lima di kota Surakarta merupakan imbas dari meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan peluang lapangan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan.Selain itu peluang kerja terbatas, terlebih lagi untuk pekerjaan disektor formal memerlukan persyaratan yang tidak mudah diikuti oleh para tenaga kerja yang berpendidikan minim.Dengan demikian banyak tenaga kerja yang beralih sektor informal seperti menjadi pedagang kaki lima sebagai salah satu peluang lapangan pekerjaan yang cukup potensial.
Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) memang tak bisa dilepaskan dari tumbuh kembangnya suatu wilayah. Demikian yang terjadi diwilayah Surakarta, kemerebakan pedagang yang biasa memanfaatkan pinggir jalan raya sama pesatnya dengan perkembangan kota itu sendiri.Sangatlah wajar jika kemudian saat pemerintah berupaya mlakukan penataan kadang-kadang timbul kesalah pahaman. Masalah penataan PKL memang ada dua sisi yang paling bertentangan, ibarat dua sisi mata uang, saat melakukan penataan ada tujuan berbeda dan itu bisa saja bertentangan antara pedagang dan pemerintah.
Disatu sisi upaya pemerintah dalam melakukan penataan itu menciptakan lingkungan kota yang bersih dan sehat,disisi lain keberadaan PKL itu juga menyangkut tentang nafkah hidup orang yang kemudian tidak bisa begitu saja berhenti. “Sebenarnya kami sadar upaya pemerintah itu bertujuan baik. Ingin kota yang bersih dan teratur. Namun disisi lain keberadaan ini juga untuk mencari nafkah. Dua hal inilah yang harus dipahami dan dicarikan jalan keluar agar tidak saling merugikan di antara keduanya.
Solo merupakan suatu daerah yang cukup sukses dalam penanganan ketertiban kota. keberhasilan Pemerintah kota dalam menata PKL di sejumlah titik di Solo. Walaupun hingga kini masih terdapat sejumlah persoalan terkait penataan PKL tersebut. Terutama kondisi pasar-pasar yang menjadi tempat relokasi PKL dari sejumlah kawasan. Contoh ini dapat dilihat di kondisi Pasar Panggungrejo, Jebres, yang saat ini masih sepi. Walaupun belum berhasil 100% tetapi Penataan PKL (Pedagang Kaki Lima) di Solo dapat dijadikan percontohan ditingkat nasional.
PKL (Pedagang Kaki Lima) merupakan salah satu penyumbang perputaran ekonomi di suatu daerah. Walaupun unit usahanya tergolong kecil tetapi ketika para PKL dikumpulkan akan mempunyai nilai yang tinggi bagi perkembangan suatu daerah. Berikut ini adalah karateristik PKL sebagai suatu usaha yang dijalankan oleh masyarakat.
- Modal usaha terbatas/kecil
- Waktu tidak teratur
- Tempat tidak permanen
- Pelanggan pada umumnya menengah kebawah
- Pendapatan kecil dan untuk sendiri
- Menggunakan tenaga kerja sedikit
- Tanpa keahlian dan ketrampilan khusus
- Tidak ada keterkaitan dengan usaha lain
- Jenis dagangan tertentu
- Menyediakan barang dan jasa
- Tanpa ijin/ilegal
- Tidak teratur dan bersifat kompetitif
Di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Kota Surakarta/Solo PKL dianggap sebagai usaha yang bergerak di bidang informal tetapi juga mempunyai banyak segi manfatnya, adapun sisi positif/manfaat adanya PKL adalah
- Dapat dilakukan banyak orang
- Menghidupkan daerah yang sepi
- Alternatif lapangan pekerjaan
- Mengurangi pengangguran
- Menumbuhkan jiwa kewirausahaan
- Menggerakkan dinamika pembangunan /pemberdayaan ekonomi
- Penyumbang PAD
Selain mempunyai sisi positif, ternyata keberadaan PKL dikota Solo juga mempunyai beberapa segi negatifnya. Adapun segi negatif adanya PKL di Kota Solo adalah sebagai berikut :
- Menyebabkan kemacetan lalu lintas
- Terganggunya kebersihan dan keindahan kota
- Terganggunya kenyamanan pemilik lahan/rumah
- Terganggunya fasilitas umum kota
- Potensi konflik horisontal
- Salah satu sumber kekumuhan kota
PKL dikota Solo/Surakarta selain mendatangkan segi positif, juga mendatangkan efek negatif terhadap kebersihan dan kenyamanan kota Solo, maka pemerintah kota Solo mempunyai pemikiran mengatasi permasalahan PKL di kota Surakarta. Adapun PKL dan tempat PKL yang ada di Kota Solo adalah sebagai berikut :
PENATAAN PKL
KOTA SURAKARTA
| ||
TAHUN
|
BELUM DITATA
|
SUDAH DITATA
|
2005
|
5.817
|
-
|
2006
|
4.828
|
989 PKL
|
2007
|
3.406
|
1.422 PKL
|
2008
|
2.657
|
749 PKL
|
2009
|
2.344
|
313 PKL
|
2010
|
2.106
|
238 PKL
|
JUMLAH SUDAH TERTATA
|
3.711 PKL
|
D. Kebijakan Penataan PKL di kota Solo
Perkembangan PKL yang makin lama makin meningkat maka menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan, permasalahan yang muncul menimbulkan Pemikiran Warga Kota Terhadap keberadaan 5.817 PKL di kota yang strategis itu. Pemikiran untuk mengatasi permasalahan PKL di Solo muncul pada tahun 2006.
Pemikiran warga Solo tersebut ada yang positif maupun negatif, berikut ini adalah pemikiran warga Solo terkait dengan keberadaan PKL.
Pemikiran Positif :
o Aset Kota untuk diberdayakan
o Peluang kesempatan kerja
o Penyangga katup ekonomi informal
Pemikiran Negatif :
o Merusak fasilitas umum dan lingkungan
o Merampas hak warga kota
o Potensi Konflik
Dengan adanya pemikiran tersebut kemudian pemerintah kota Solo perhatian dan tanggap terhadap pemikiran yang ada dimasyarakat. Akhirnya pemerintah kota Solo mempunyai pemikiran untuk menertibkan adanya PKL di kota Solo.Dan kemudian penataan PKL di kota Solo terus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.
Adapun faktor pendukung untuk mengurai persoalan PKL adalah sebagai berikut :
- Karakter kepemimpinan lokal/Wali Kota Solo yang Cerdas, Santun, Konsisten
- Komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam Pemberdayaan PKL
- Adanya solusi yang ditawarkan oleh pihak pemerintah kota Solo.
Komitmen bersama dalam mewujudkan kebijakan pemerintah kota dalam penataan PKL di Kota Solo di sepakati oleh Legislatif, Muspida kota Solo, SKPD terkait, masyarakat dan instansi vertikal, sehingga komitmen untuk mengatatasi permasalahan PKL di Kota Solo semakin meningkat baik di dalam masyarakat maupun pemerintah kota Solo.
Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak yang ada di kota Solo maka pemerintah Kota Solo semakin mempunyai komitmen kuat untuk melaksanakan peraturan yang ada di kota Solo terkait dengan penataan kota dan PKL. Surakarta memiliki peraturan perundang-undangan tentang penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang telah diimplementasikan. Peraturan perundang-undangan tersebut yaitu:
- Perda No. 8 Tahun 1995 Tentang Pembinaan dan Penataan PKL Kota Surakarta.
- SK Walikota Surakarta No. 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Perda No. 8 Tahun 1995.
- Perda No. 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan PKL Kota Surakarta.
- Perda Kota Surakarta No. 7 Tahun 2009 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.
- SOT Kota Surakarta No. 6 Tahun 2008 Tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta.
Peraturan tersebut kemudian semakin tegas untuk segera dilaksanakan, maka pemerintah kota Solo memulai untuk melaksanakan peraturan tersebut. Adapun penataan PKL di Kota Solo dilaksanakan melalui pendekakatan sosial budaya. Pendekatan penataan PKL melalui pendekatan sosial budaya tersebut mempunyai makna dalam penataan PKL di kota Solo. Berikut ini adalah pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh pemerintah kota Solo, yaitu :
- Nguwongke uwong.
Nguwongke uwong mempunyai makna Menempatkan Manusia pada Harkat & Martabat
- Kemitraan.
Kemitraan mempunyai makna adanya kebersamaan dalam penataan PKL antara masyarakat, pemerintah dan PKL itu sendiri sehingga dapat menjadi
semakin dimengerti oleh pihak-pihak yang terkait.
- Hati nurani.
Ada rasa saling mengisi antara satu pihak dengan pihak yang lain, atau PKL dengan masyarakat dan pemerintah.
- Saling menghormati.
Adanya Keseimbangan antar PKL, masyarakat dan pemerintah.
Selain menggunakan pendekatan sosial budaya dalam penataan PKL di Solo juga menggunakan pendekatan ekonomi. Berikut ini adalah tehnik pendekatan ekonomi yang digunakan pemerintah kota Solo dalam melakukan penataan PKL di kota Solo yaitu dengan cara:
- Bantuan sarana & prasarana.
Relokasi , Shelter, Gerobak , Tenda
- Bantuan dari pemerintah
Berupa : Modal Usaha, Pemindahan dan Pengangkutan
- Perijinan.
SIUP, KTPP, SHP semua diberikan gratis dari pemerintah kepada PKL.
- Promosi.
Media Elektronik , Media Cetak dan dan Hiburan
Selain itu ada tambahan dari pemerintah guna mendukung terwujudnya PKL yang tertib dan teratur. Tambahan pendukungnya yaitu:
• Pemberian ijin gratis (SIUP & TDP)
• SHP & KTPP gratis
• Pelatihan manajemen ? pedagang
• Dukungan media promosi
• Dana penjaminan kredit ? 9 Milyar
Selanjutnya selain dengan kedua pendekatan yang ada ternya pemerintah kota Solo juga menggunakan satu pendekatan lagi untuk menata PKL. pendekatan tersebut adalah pendekatan normatif. Pendekatan normatif ini adalah pendekatan yang emnggunakan aturan dan sanksi kepada PKL yang melanggar aturan yang berlaku.
Pendekatan Normatif ini di bagi menjadi 2 yaitu :
1) Pendekatan non yustisi, meliputi : Pembinaan : Sosialisasi, Peringatan ,Pemantauan dan Pengawasan
2) Pendekatan yustisi meliputi : Penindakan ,Peradilan
Selain hal diatas kemajuan yang ada di kota Solo merupakan salah satu fungsi sudah adanya partisipasi masyarakat terkait dengan penataan PKL di kota Solo. Wadah dari masyarakat diberi nama PKL Center dan forum PKL. PKL center dan forum PKL ini nantinya bisa mewadahi dan menampung keluhan dan permasalahan PKL di kota ini agar untuk ke depannya tak lagi ada para PKL yang merasa tidak dilibatkan atau dipikirkan oleh Pemkot. Setidaknya forum tersebut bisa diadakan rutin, misalnya sebulan sekali untuk membahas permasalahan-permasalahan kaitannya dengan penataan PKL. Bahkan Solo ditunjuk sebagai pusat pelatihan penataan PKL se-Asia Pasifik terkait keberhasilan Pemkot dalam menata PKL di sejumlah titik di Solo.
Walaupun diakuinya, hingga kini masih terdapat sejumlah persoalan terkait penataan PKL tersebut. Terutama kondisi pasar-pasar yang menjadi tempat relokasi PKL dari sejumlah kawasan. Walaupun pemerintah kota Solo sudah melakukan tiga pendekatan tetapi PKL masih susah untuk melaksanakan ide pemerintah dalam mengatasi PKL di Solo itu sendiri. Dalam tuntutannya PKL masih mempunyai beberapa permintaan kepada pemerintah, antara lain
- Transportasi harus ada dan kelancarannya pun harus dipertimbangkan baik itu angkot, angkutan pedesaan maupun angkutan yang dapat mendukung adanya penertiban PKL di tempat PKL yang baru.
- Bakar tempat yang ditinggal, PKL menuntut adanya pembersihan tempat yang telah ditinggalkan sehingga tempat yang lama bisa menjadi lebih nyaman.
Upaya pemerintah kota Solo dalam hal “meramaikan” lokasi baru PKL ini tidak cukup membuahkan hasil yang signifikan. Lihat saja di Pasar Panggungrejo yang terletak di belakang Kantor Kecamatan Jebres. Pasar ini merupakan lokasi baru PKL yang dipindah dari sepanjang Jl. Ki Hajar Dewantara. Sampai saat ini, pasar tersebut masih sepi pengunjung. Oleh karena itu, banyak pedagang yang menjadi tidak aktif berjualan di sana. Dari 201 kios hanya sekitar 40-an pedagang yang cukup aktif berjualan tiap hari .
Ini merupakan sebuah situasi yang dilematis. Pemkot Solo yang berupaya untuk menata kota menjadi lebih teratur, namun di lain pihak kurang mengerti terhadap keadaan para PKL yang sudah direlokasi. Perlu upaya lebih dan konsistensi dari Jokowi dan jajarannya pasca relokasi PKL. Harus dibuat suatu masterplan terencana untuk meramaikan lokasi baru pedagang.
Penataan PKL di kota Solo dengan menggunakan 3 pendekatan diatas,setidaknya telah membawa hasil yang menggembirakan bagi masyarakat dan pemerintah, yang mana bahwa PKL di kota Solo dapat menjadi semakin tertib dan terkondisikan.Meskipun belum berhasil 100% tetapi Penataan PKL (Pedagang Kaki Lima) di Solo dapat dijadikan percontohan ditingkat nasional.
Penataan PKL yang humanis di Solo tidak hanya membuat suasana dan keadaan yang harmonis, antara pemerintah kota dengan warganya. Akibat dari kebijakan pemkot Solo yang menata kotanya secara manusiawi, para PKL merasa diperhatikan dan tidak dianaktirikan. Hal ini berlanjut terus dan tidak berhenti. Setiap ada rencana perpindahan PKL ke lokasi baru, hampir dipastikan tidak akan ada gesekan maupun kontak fisik antara pemkot dengan para PKL.
Maka, tidak heran jika Solo ditunjuk menjadi pusat pelatihan atau training center penataan pedagang kaki lima se-Asia Pasifik pada Juli 2011. Hal ini tidak saja membuat kota Solo semakin dikenal, namun juga dapat meningkatkan rasa kepercayaan dari para warga Solo sendiri maupun warga pendatang yang berkunjung ke kota ini. Dengan penataan PKL yang baik, secara otomatis keamanan dan kenyamanan kota akan terwujud dengan sendirinya.(JT)
DAFTAR PUSTAKA
° Firadausy,Carunia Mulya,1995. (Penyunting).Pengembangan Sektor Informal Pedagang Kaki Lima Diperkotaan,Dewan Riset Nasional, Jakarta.
° Handayani,Suci.(2006).Pelibatan Masyarakat Marginal dalam Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif: Sebuah Pengalaman di Kota Solo.
° http://0sprey.files.wordpress.com diakses pada 19 Desember 2011
° Solopos, 3 Mei 2011
° Solopos, 10 Mei 2011
Post a Comment
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan Baik dan Sopan
1. Tidak diperkenankan menautkan Link Aktif di Kolom Komentar.
2. Dilarang beriklan dalam Komentar.
Komentar berkualitas dari anda sangat penting bagi kemajuan Blog kami.