Biografi Sutan Syahrir, Pahlawan Nasional Indonesia Berjuluk 'Si Kancil'  biografi sutan syahrir,Kemerdekaan Indonesia,Pahlawan,Pahlawan Nasional,Pejuang Kemerdekaan, Biografi Sutan Syahrir Ia dikenal dengan julukan Si Kancil dan juga The Smiling Diplomat Beliau dikenal sebagai perdana menteri pertama Indonesia ketika Republik Indonesia merdeka pada tahun 1945 Berkat jasa jasanya pula, pemerintah Indonesia memberikan tanda kepada Sutan syahrir,

Biografi Sutan Syahrir (1909-1966)
Sutan Syahrir atau Sutan Sjahrir (ejaan lama) merupakan salah satu tokoh pemuda yang mendorong diadakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ia adalah putra Minangkabau. Lahir di Kota Padang Panjang, 5 Maret 1909. 

Sutan Syahrir adalah seorang pejuang kerakyatan, kemanusiaan, harkat manusia, dan orang yang mempunyai pandangan dan pengetahuan yang luas serta sikapnya tegas, sehingga menjadikan dia sebagai seorang nasionalis dan patriot sejati. 

Latar Belakang Sutan Syahrir.

Sutan Sjahrir berasal dari keluarga Minangkabau yang cukup terpandang dan disegani di Koto Gedang, Sumatera Barat. Ayah Sutan Syahrir bernama Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat. Kakek dan ayah syahrir merupakan jaksa yang bekerja bagi pemerintah Hindia Belanda. 

Dalam tubuh Sutan Sjahrir juga mengalir darah bangsawan Mandailing Natal, Ibunya merupakan keturunan langsung dari Tuanku Besar Sintan dari Natal. Jadi sejak kecil Syahrir telah menikmati kemapanan ekonomi dan kehidupan keluarga yang modern. 

Pendidikan Sutan Syahrir

Sutan Syahrir memperoleh pendidikan modern dan bergengsi.
  • ELS (Europeesche Lagere School) Pendidikan Dasar.
  • MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).
  • AMS (Algemeene Middelbare School) di Bandung. 

Setelah tamat dari AMS, Syahrir melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di negeri Belanda, Sjahrir menjalani kehidupan yang berbeda dengan di Hindia. Kehidupan di negeri Belanda memperkenalkan Sjahrir pada kehidupan yang bebas. 

Syahrir tertarik pada sosialisme, terlibat dalam Perkumpulan Mahasiswa Sosial Demokrat Amsterdam, dan banyak membaca buku-buku mengenai sosialisme. Selain itu, Syahrir juga melibatkan diri dalam gerakan Sarekat Buruh dan bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transport Internasional. Selain melibatkan diri dalam perkumpulan mahasiswa sosialis, Sjahrir juga aktif dalam diskusi Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. 

Dari pendidikan-pendidikan dan pergaulan intelektual yang didapat Sutan Syahrir tersebut, telah membuat syahrir tumbuh dan berkembang menjadi insan cerdas dan memiliki jiwa yang kritis terhadap permasalan jaman dimana ia hidup. 

Sekolah yang ditempuh Syahrir merupakan sekolah elit pada jamannya. Sekolah-sekolah tersebut diperuntukan bagi anak-anak keturunan Belanda dan Timur Asing, serta diperbolehkan juga bagi anak-anak pribumi yang berasal dari keluarga bangsawan dan para pegawai tinggi pemerintah Hindia Belanda. Syahrir dapat menikmati pendidikan di sekolah-sekolah tersebut karena ia berasal dari keluarga yang mampu dan terpandang.

Sutan Syahrir diasingkan ke Boven Digoel

Kegiatan politik Sjahrir semakin menonjol ketika ia bersama Hatta mendirikan sebuah partai baru, yakni PNI-Baru (Pendidikan Nasional Indonesia). Dalam Kongres I di Bandung pada bulan Juni 1932 Sjahrir terpilih sebagai ketua Pimpinan Umum PNI Baru . Pimpinan Syahrir ditandai oleh pengarahan konsolidasi ke dalam untuk menumbuhkan kematangan politik dan jiwa kritis. Tidak lama setelah itu, Hatta kembali ke Hindia dan kepemimpinan PNI-Baru diserahkan kepadanya. 

Sjahrir bermaksud kembali ke Belanda untuk melanjutkan studinya. Namun belum sempat ia meninggalkan Hindia, para pemimpin PNI-Baru ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda. Kegiatan-kegiatan PNI-Baru dianggap berbahaya karena melakukan propaganda melalui tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah Daulat Rakjat.

Syahrir juga ditangkap dan dipenjarakan di Cipinang selama beberapa bulan. Pada tanggal 16 November 1934, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mengasingkan Syahrir bersama pimpinan PNI-Baru lainnya ke Boven Digoel. 

Sjahrir menjalani masa pembuangan selama setahun di Boven Digoel, kemudian dipindahkan ke Banda Neira sampai pecahnya Perang Pasifik, dan pada Februari 1942 dipindahkan ke Sukabumi. Selama berada di pengasingan, Sjahrir terus mengikuti perkembangan dunia luar melalui surat-surat kabar yang diterbitkan di Jawa dan di negeri Belanda. Waktunya ia habiskan dengan membaca dan belajar mengenai ekonomi, politik, serta budaya.

Pandangan Syahrir Mengenai Revolusi Kemerdekaan

Syahrir lebih mengutamakan cara damai dalam menyelesaikan sengketa, sehingga ia dikenal sebagai seorang diplomat dan politisi ulung. Ketika para pemuda mengambil langkah penculikan Soekarno untuk memaksanya segera memproklamasikan kemerdekaan, Syahrir sebenarnya tidak setuju dengan tindakan tersebut, meskipun ia juga menginginkan kemerdekaan secepatnya. 

Dalam hal ini Syahrir mempunyai pandangan bahwa mempertaruhkan hidup adalah suatu sikap dan perbuatan yang bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang serba nekad.  Sutan Syahrir memperingatkan kepada semua orang bahwa dalam politik “hidup” dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gegabah. 

Dapat dipahami bahwa kecemasan Syahrir tentang orang-orang muda di Indonesia pada masa selepas Perang Dunia II dan pada awal kemerdekaan yang penuh tenaga dan determinasi tetapi ketiadaan pegangan tentang bagaimana hidup mereka harus dimenangkan. Setelah Jepang menyerah kalah Syahrir mencatat dengan prihatin bahwa para pemuda terjebak di antara sikap nekad di satu pihak dan keragu-raguan di pihak lainnya. 

Semboyan “Merdeka atau Mati” ternyata dapat menjadi perangkap kejiwaan. Karena selagi menyaksikan kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud sedangkan kesempatan untuk mati belum juga tiba, maka para pemuda itu terombang-ambing dalam kebimbangan yang tak menentu. Menurut Sutan Sjahrir, kebimbangan tersebut terjadi karena selama Jepang berkuasa di Indonesia, para pemuda Indonesia hanya diberi pelatihan untuk berbaris dan berkelahi, tetapi tidak pernah dididik tentang kepememimpinan.

Syahrir berpendapat bahwa kemerdekaan nasional hanya merupakan jembatan untuk terwujudnya tujuan perjuangan kebangsaan lainnya yaitu kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, tekanan dan penghisapan, keadilan dan pembebasan bangsa dari genggaman sisa-sisa feodalisme serta pendewasaan bangsa.  

Dalam pendapat Syahrir tersebut jelas bahwa pemimpin dan rakyat Indonesia tidak hanya berhenti dan puas dengan kemerdekaan yang telah diperoleh, mereka masih harus berjuang lagi untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa dan negara yang mandiri dan mampu bersaing dengan negara-negara lain.

Revolusi menciptakan gelombang amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir secara jernih.  Hanya sedikit sekali tokoh yang mempunyai gagasan atau konsep tentang langkah strategis meyakinkan untuk mengendalikan kecamuk revolusi. 

Pada masa itu ada dua tokoh dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik. Mereka adalah Tan Malaka dan Sutan Syahrir.  Sutan Syahrir dan Tan Malaka adalah dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai bersih dari noda Fasisme Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.
 

“Perjuangan Kita”, Tulisan Syahrir

Pada masa genting revolusi ketika itu, Syahrir menulis “Perjuangan Kita”.  Sebuah risalah mengenai peta konsep permasalahan dalam revolusi Indonesia. Dalam tulisan itu juga sekaligus menganalisa tentang perekonomian  dan perpolitikan dunia usai Perang Dunia II.

Tulisan Sutan Syahrir yang termuat dalam “Perjuangan Kita”, membuatnya terlihat berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Bung Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, maka lain halya Syahrir. Ia justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. 

Syahrir mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan. 

Sutan Syahrir Seorang Diplomat Ulung

Sutan Syahrir semakin menunjukan keahliannya sebagai seorang diplomat, keahlian tersebut semakin terlihat ketika ia menjabat sebagai Perdana Menteri. Dalam menjalankan peran sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), Syahrir menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang memiliki fungsi legislatif. 

Negara Indonesia menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan Indonesia tersebut menyesuaikan dengan arus politik pasca Perang Dunia II, yakni kemenangan paham demokrasi atas paham fasisme. Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) selalu konsisten memperjuangkan kedaulatan RI melalui jalur diplomasi. Meskipun usaha yang diplomasi yang dilakukan Syahrir tersebut mengalami jatuh-bangun akibat berbagai rintangan yang berasal dari kalangan bangsa sendiri.

Syahrir tidak ingin bertindak gegabah dalam menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk satu meja perundingan dengan pemerintah Negara Indonesia. Secara politik, hal ini memiliki arti bahwa secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah Negara Indonesi. 

Lika-liku jalan diplomasi Indonesia diperkeruh dengan agresi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Tindakan Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum PBB. 

Syahrir mendapat mandat menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Perintah tersebut ia terima setelah tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir dan Agus Salim bertolak menuju Lake Success, New York. Namun sebelumnya, kedua tokoh ini telah singgah dulu di New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.

Syahrir berpidato di sidang Dewan Keamanan PBB pada tangga 14 Agustus 1947. Syahrir berpidato dihadapan para wakil bangsa-bangsa sedunia.  Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad telah memiliki peradaban aksara yang telah dieksploitasi oleh kaum penjajah. Dalam Sidang PBB tersebut, Syahrir mampu mematahkan satu per satu argumen yang sudah dikemukakan pihak Belanda yang diwakili oleh Eelco van Kleffens.

Apa yang telah dilakukan Syahrir kala sidang di PBB tersebut, menunjukan ke dunia internasonal bahwa Indonesia berhasil mendapat kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatan bangsanya diranah internasional.

PBB pun turun tangan dalam sengketa antara Indonesia – Belanda.  sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.

Sutan Syahrir juga seorang yang menganut paham sosialisme. Sjahrir memiliki pendapat bahwa revolusi nasional harus segera disusul dengan satu revolusi sosial yang dapat membebaskan rakyat dari cengkraman feodalisme lama dan jebakan-jebakan yang mengarah ke paham fasisme yang muncul bersama dengan paham kapitalisme yang tak terkendali. 

Kemerdekaan nasional bukan merupakan tujuan akhir dari perjuangan politik tetapi menjadi jalan untuk rakyat dalam upaya merealisasikan diri dan bakat-bakat dalam kebebasan tanpa adanya kekangan dari penjajah. Nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi, dan bukan sebaliknya. 

Sutan Syahrir Mendirikan PSI (Partai Sosialis Indonesia).

Pada tahun 1948 Sutan Syahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI). Partai yang dia dirikan ini memiliki tujuan sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional.  Meskipun PSI memiliki haluan kiri dan memiliki dasar pada ajaran Marx-Engels, namun Sutan Syahrir menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. 

Menurut Sutan Syahrir, Sosialisme memiliki pengertian yaitu menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat pada tiap individu manusia. 

Partai yang dipimpin oleh Syahrir ini, tidak mampu bersaing dengan partai lain seperti PNI, Masyumi, NU dan PKI. Pada Pemilu tahun 1955, PSI hanya mendapatkan 5 kursi DPR dan 10 kursi Konstituante. Tentu hal ini mengindikasikan bahwa Partai Sosialis Indonesia tidak mempunyai pangaruh kuat dalam parlemen. Bisa dikatakan bahwa PSI hanya merupakan partai kecil ketika itu. 

Akhir Hayat Sutan Syahrir

Pada akhir tahun 1950an, di Indonesia terjadi Gerakan PRRI / Permesta, tapi tidak lama kemudian gerakan tersebut berhasil ditumpas oleh pemerintah pusat. Pasca pemberontakan ini, pimpinan PSI termasuk Sjahrir dipanggil oleh Presiden Soekarno, hal ini dikarenakan ada tokoh PSI yang terindikasi ikut mendukung PRRI. Presiden Soekarno kemudian membubarkan PSI pada tanggal 17 agustus 1960. Pada Tahun 1962, Sjahrir dan beberapa tokoh PSI lainnya menjadi tahanan politik. 

Pada saat menjalani masa tahanan, Syahrir menderita sakit. Karena alasan kesehatan Syahrir diberi ijin pemerintah untuk berobat ke Zurich, Swiss. Tapi pengobatan keluar negeri yang ia jalani ternyata tidak mampu menolong nyawanya, akhirnya Syahrir menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 9 April 1966 di Zurich, Swiss.

Setelah melalui proses pemulangan dari Swiss, akhirnya Syahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 19 April 1966. Beliau meninggal pada usia 57 tahun. Atas jasa-jasa Sutan Syahrir selama masa pergerakan kemerdekaan, akhirnya Pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 76 tahun 1966 menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sutan Syahrir .

Beberapa Karya-Karya Sutan Syahrir.

  • Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
  • Pergerakan Sekerja, tahun 1933.
  • Perjuangan Kita, tahun 1945.
  • Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampai 1938).
  • Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin)
  • Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir)
  • Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile)
  • Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953)
  • Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953)
  • Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah lain
  • Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas) 

Referensi:
  • Artikel 100 Tahun Sutan Syahrir Pemikiran dan Kiprah Sang Pejuang, oleh Sabam Siagian
  • Sutan Sjahrir: Etos Politik Dan Jiwa Klasik, Orasi mengenang Sutan Sjahrir, 8 April 2006, TIM, Jakarta, Oleh Ignas Kleden
  • Jurnal: Peranan Sutan Sjahrir Dalam Pemerintahan Indonesia (1945-1947) oleh Bernarda Prihartanti.