Biografi Sejarah Margonda Depok

Pernahkah kalian jalan-jalan ke Kota Depok, Jawa Barat dan melintasi Jalan Utama Margonda? Jalan Utama Margonda di Kota Depok ternyata diambil dari nama seorang pahlawan, yaitu Margonda. Kali ini kita akan membahas tentang perjuangan seorang Margonda untuk bangsa dan negara Indonesia.

Masa Kecil dan Pendidikan Margonda

Margonda memiliki nama kecil Margana. Menurut Alwi Shahab dalam "Kisah Margonda dan Tole Iskandar" di RMOL (15/4/2013), menyebutkan bahwa Margonda lahir di Bogor dan keluarganya tinggal di Jalan Ardio. Sumber lain yang ditulis oleh Wenri Wanhar dalam "Kisah Cinta Margonda" yang dimuat Historia (22/1/2014), menyebutkan bahwa Margonda lahir di Baros, Cimahi, pada 1918.

Memasuki usia dewasa, pada tahun 1943, ia menikah dengan Maemunah, keponakan M.S. Mintaraja. M.S. Mintaraja adalah tokoh yang pernah menjadi Menteri Sosial dalam kabinet Presiden Suharto sekaligus ketua umum Partai Persatuan Pembangunan. Bersama istrinya, Margonda tinggal di Bogor.

Margonda pernah mengenyam pendidikan di Analysten Cursus yang didirikan oleh Indonesiche Chemische Vereniging. Sekarang tempat tersebut dikenal sebagai Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor. Pada tahun 1940an, Margonda pernah mengikuti kursus penerbangan di Luchtvaart Afdeeling (bagian penerbangan) Belanda. Kursus ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 1942 Belanda menyerah kalah pada Jepang. Kursus penerbangan ini ternyata juga diikuti oleh pendiri Angkatan Udara, yaitu Agustinus Adisutjipto.

Peran Margonda Dalam Perjuangan Bangsa Indonesia

Pada masa pendudukan Jepang, Margonda bekerja di lembaga pertanian di Bogor. Sebagai tindakan perjuangan, Margonda bersama dengan tokoh pemuda lokal di wilayah Bogor dan depok mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor. 

Dalam buku "Sejarah Perjuangan Bogor" yang disusun oleh orang-orang yang terlibat dalam perang kemerdekaan di Bogor beserta dengan beberapa wartawan, AMRI pimpinan Margonda ternyata berdiri lebih dahulu dibandingkan dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat). Usia kelompok AMRI tidak panjang. Setelah kelompok ini bubar, beberapa anggotanya bergabung dengan BKR, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), dan organisasi lainnya.

Margonda kemudian masuk menjadi anggota BKR di Bogor. Sebelumnya ia telah mengikuti pendidikan kemiliteran secara singkat, kemudian dimasukkan ke Batalion Kota Bogor dengan pangkat letnan muda, dan bergabung dengan pasukan Batalion I di Kota Depok.

Pada 11 Oktober 1945, Margonda beserta para pejuang dari berbagai laskar di Bogor dan sekitarnya menyerbu Kota Depok karena kota itu tidak mau bergabung dengan Republik Indonesia. Mengapa Kota Depok tidak mau bergabung dengan Republik Indonesia? Hal ini disebabkan oleh sejarah Kota Depok itu sendiri.

Sejarah awal berdirinya Depok tidak terlepas dari peran Cornelis Chastelein (1657-1714), seorang saudagar VOC generasi awal yang memerdekakan orang Depok. Sejak saat itulah Cornelis Chastelein menjadi tuan tanah, dan menjadikan Depok memiliki pemerintahan sendiri, lepas dari pengaruh dan campur tangan dari luar.

Cornelis Chastelein kemudian mewariskan seluruh tanahnya kepada 12 marga budaknya yang berasal dari berbagai suku Indonesia. Cornelis memerdekakan mereka dalam wasiat yang dibuatnya sebelum meninggal. Meski bermuka pribumi dan berkulit coklat, 12 marga dan keturunan mereka bergaya hidup seperti orang Eropa, buah didikan Cornelis. Mereka inilah yang disebut sebagai “Belanda Depok.” Dalam kesehariannya mereka menggunakan bahasa Belanda.

Sejarah juga menyebut, bahwa Depok sudah lebih dulu merdeka sejak 28 Juni 1714. Mereka memiliki tatanan pemerintahan sendiri, yaitu Gemeente Bestuur Depok yang bercorak republik. Pemimpinnya adalah seorang presiden yang dipilih tiga tahun sekali melalui Pemilu. Daerah otonomi Chastelin ini dikenal dengan sebutan Het Gemeente Bestuur Van Het Particuliere Land Depok. 

Pemerintah Belanda di Batavia menyetujui Pemerintahan Chastelin ini dan menjadikannya sebagai Kepala Negara Depok yang pertama. Karena alasan sejarah itulah orang Depok atau Belanda Depok enggan bergabung dengan Indonesia yang baru merdeka, mengingat mereka sudah merdeka dan sudah memiliki Presiden sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta.

Karena keengganan untuk bergabung dengan Republik Indonesia itulah akhirnya meletuslah sebuah peristiwa yang dikenal sebagai "Gedoran Depok." Dalam peristiwa ini, Margonda dan para pemuda berhasil mengepung dan menguasai Kota Depok. Namun, tidak lama kemudian, Sekutu datang dan merebut kembali Kota Depok. Para pejuang mundur untuk menyusun kekuatan. Mereka kemudian melakukan serangan balik pada tanggal 16 November 1945 dengan sandi perang "Serangan Kilat."

Dikutip dari Historia, menurut penuturan Andung, seorang yang terlibat dalam peristiwa Serangan Kilat tersebut, mengungkapkan bahwa peristiwa Serangan Kilat adalah pertempuran yang sengit dan berlangsung cukup lama. Pertempuran ini berlangsung dari jam lima pagi sampai jam lima pagi besoknya lagi.

Dalam peristiwa Serangan Kilat itulah, Margonda gugur di Kalibata, Depok dalam usia yang masih muda, 27 tahun.

Akhir Hidup Margonda

Setelah gugur dalam peristiwa Serangan Kilat itu, beredar isu di kalangan para pejuang di Bogor bahwa Margonda dikubur dalam satu liang lahat dengan para pejuang lainnya di Kalibata, Depok. Makam itu kemudian dibongkar dan jasad Margonda dimakamkan ulang di samping stasiun Bogor, yang kini menjadi Taman Ade Irma Suryani, dekat dengan Taman Topi. Namun yang sangat disayangkan, tidak diketahui pasti pusara Margonda.

Margonda meninggalkan seorang istri bernama Maemunah dan seorang anak perempuan bernama Jopiatini. Margonda menikahi istrinya pada tanggal 24 Juni 1943 di Bogor.

Jalan Margonda Raya adalah sebuah nama jalan nasional yang diambil dari nama pahlawan nasional Indonesia yaitu Margonda. Jalur ini sepanjang 6,5 km menghubungkan Depok dengan DKI Jakarta maupun Depok dengan Kabupaten Bogor.


Sumber:  Historia.id, tirto.id, id.wikipedia.org